Beranda | Artikel
Hukum Menetapkan Sayyidina Kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
Selasa, 16 Desember 2014

HUKUM MENETAPKAN SAYYIDINA KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN MEMBERI NAMA DENGAN NAMA ALLAH

Pertanyaan
Apa hukum menetapkan nama ‘sayyidina’ pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan terhadap para wali yang saleh? Dan apa hukum memberi nama manusia dengan nama-nama Allah yang mulia, seperti Al-Bashir, Al-Aziz, dan selainnya?

Jawaban
Alhamdulillah.

Menetapkan nama sayyidina atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah haq. Karena beliau adalah sayyidu waladi Adam alaihissahalatu wassalam (pemimpin anak Adam alaihisshalatu wassalam). Terdapat riwayat shahih tentang hal tersebut dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

(أنا سيد ولد آدم ولا فخر)

Aku merupakan pemimpin anak Adam, bukan karena sombong.”

Maka beliau adalah pemimpin para hamba dan para rasul. Jika seseorang berkata, ‘Sayyidina Muhammad’ dalam shalawat, ‘Allahumma shalli alaa sayyidina Muhammad’ Maka hal itu tidak mengapa, sebab beliau adalah sayyid (pemimpin) anak Adam alaihisshalatu wassalam dan sayyid (pemimpin) makhluk.

Hanya saja beliau tidak menyukai ungkapan tersebut karena khawatir lahir sikap ghuluw (pemujaan berlebihan terhadap dirinya). Katika mereka mengatakan, ‘Engkau adalah sayyid kami.’ Maka beliau bersabda, ‘As-Sayyid (pemimpin) adalah Allah Tabaaraka wa ta’ala.” Ini sebagai langkah perlindungan, karena dia takut mereka (para shahabat) melakukan sikap ghuluw terhadap beliau alaihishshalatu wassalam. Akan tetapi setelah wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan bahwa beliau telah mengabarkan kepada bahwa dia adalah sayyid bagi Anak Adam, maka tidak mengapa kita mengatakan, ‘sayyiduna’ misalnya dengan mengatakan bahwa beliau adalah khairuna (orang terbaik di antara kita), sayyiduna wa imamuna (pemimpin kita), khalilurrahman (kekasih Ar-Rahman) alaihisshalatu wassalam.

Adapun terhadap orang selain beliau, maka lebih utama tidak dikatan demikian terhadapnya. Akan tetapi jika ada yang mengatakan, ‘Si fulan adalah sayyid (tuan) mereka’ maksudnya adalah ketua mereka atau pemimpin kabilah mereka, maka hal itu tidak mengapa. Seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap cucunya Hasan, ‘Sesungguhnya anakku ini (cucuku) adalah sayyid.’ Atau beliau berkata, ‘Siapakah sayyid (pemimpin) suku ini…?’ Begitu perkataan beliau saat kedatangan Saad bin Muaz untuk menetapkan hukum terhadap Bani Quraizah. Beliau berkata, “Berdirilah untuk pemimpin kalian.’ Maka hal tersebut tidak mengapa.

Akan tetapi jangan dikatakan, ‘Yaa sayyidana’. Meninggalkannya lebih utama, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih utama. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,  (السيد الله تبارك وتعالى)  ‘As-Sayyid adalah Allah Tabaaraka wa Ta’ala.’  Karena ucapan itu akan melahirkan takabbur dan ghuluw terhadapnya jika dikatakan demikian padanya.

Lebih utama jika dikatakan kepadanya, ‘wahai saudara kami’, ‘Wahai abu fulan.’ Itu sudah cukup. Adapun jika dikatakan dalam bentuk idhafah (penyandingan), seperti; ‘Dia adalah sayyid (pemimpin) suku ini’ ‘Si fulan adalah sayyid’ karena dia berasal dari keluarga Nabi, atau karena ahli fiqih atau ulama atau orang mulia karena akhlaknya, amalnya dan kedermawanannya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi jika penyebutannya dikhawatirkan membuatnya takabbur maka lebih baik ditinggalkan.

Dan hendaknya hal ini tidak dikatakan terhadap orang kafir, munafiq atau tukang maksiat. Tapi dikatakan kepada orang tua, atau ahli fikih, atau ketua yang sudah dikenal kesalehannya, kebaikannya dan kedermawanannya.

Jika dikatakan kepada mereka ‘sayyid’ itu tidak mengapa. Akan tetapi saat menjadi lawan bicara, tidak dikatakan, ‘Ya sayyidina..’ Maka meninggalkannya lebih utama. Adapun jika orang yang suka durhaka atau munafik, maka boleh dikatakan kepadanya, ‘Ya sayyid suku ini…”

Adapun soal pertanyaan kedua, maka nama-nama Allah terdiri dari dua kelompok. Ada nama yang boleh memberikan nama dengannya, dan ada yang tidak boleh. Tidak boleh diberikan nama ‘khallaq’ (pencipta) razzaq (pemberi rizki), rabbul alamin (tuhan semesta alam). Akan tetapi memberikan nama seperti ‘Aziz’ ‘Bashir’ tidak mengapa. Sebab Allah memberikan nama terhadap sebagian makhuknya dengan nama seperti itu, seperti firman-Nya,

فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا 

Karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat.” [Al-Insan/76: 2]

قَالَتْ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ

berkata isteri Al Aziz.” [Yusuf/12: 51]

Nama-nama seperti ini dapat diberikan kepada makhluk, seperti dia adalah ‘orang mulia (aziz) di tengah kaumnya’ atau ‘memahami (basher) dalam perkaranya. Demikian pula hakim, maksudnya orang yang bijaksana. Maka tidak mengapa mencantumkan nama-nama ini. Karena maknanya juga dimiliki makhluk.

Namun Allah paling sempurna dari semua itu. Adapun nama-nama yang khusus bagi Allah tidak boleh disematkan kepada selain Allah. Tidak boleh manusia dinamakan ‘Allah’ atau ‘Ar-Rahman’ atau ‘Al-Khallaq’ atau ‘Ar-Razzaq’ atau ‘Khaliqul halq’ atau semacamnya yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala.”.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4019-hukum-menetapkan-sayyidina-kepada-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html